Rabu, 03 Maret 2010

HAM Vs Implementasi UU Hukuman Mati


Agustus, 2008


“Wacana tentang eksekusi mati telah menjadi kontroversi sejak lama. Setiap pihak yang pro dan kontra telah menjadikan  hal ini polemik yang sekaligus membuka pikiran sebagian masyarakat untuk turut memberikan sumbangsih pendapat, keinginan dan harapan mereka mengenai eksekusi mati ini”.

 Berbicara tentang eksekusi mati tentu tak lepas dari Hak Asasi Manusia. Sangat menarik untuk menyimak berbagai apresiasi yang ditunjukkan oleh para pihak yang pro maupun yang kontra mengenai ini. Sederhana saja, eksekusi mati dianggap oleh sebagian orang sangat bertentangan dengan HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia) karena mengambil hak hidup seorang manusia secara sengaja dengan Undang-undang sebagai justifikasinya (UU tahun 1964 tentang tembak mati). Saya termasuk orang yang sangat menentang hukuman mati itu. Pertimbangan dalam melaksanakan hukuman mati seharusnya tidak hanya di kaji dari aspek hukum pidana dan sekedar mengimplementasikan apa yang telah ditulis oleh Undang-undang semata, tapi juga harus mempertimbangkan aspek moralitas dan hak hidup setiap manusia yang paling hakiki (hanya Tuhan yang berhak memutuskan jalur hidup setiap manusia). Dan meskipun dengan alasan apapun, saya lebih setuju bahwa hukuman penjara seumur hidup sudah merupakan hukuman pidana yang paling tinggi yang dapat memberikan efek jera, karena merampas kebebasan orang dari lingkungan sekitarnya adalah lebih baik daripada merampas kebebasan seseorang untuk hidup di dunia. Kalau dari bahasa sederhananya, setidaknya dengan kesempatan hidup meskipun dengan penjara seumur hidup bisa memberikan kesempatan kepada para pelaku kejahatan untuk memperbaiki diri secara spiritual (setidaknya sebagian napi terbukti lebih “dekat” dengan Tuhan setelah di dalam penjara daripada ketika mereka masih bebas), daripada dengan segera mencabut nyawa mereka tanpa memberikan kesempatan untuk bertobat. Setiap manusia memiliki hak dasar untuk memperbaiki diri lahir dan batin bukan ?
Berbicara mengenai efek jera. Saya pikir dengan adanya hukuman mati tidak serta merta menghapus atau meminimalisir kejahatan yang terjadi seperti narkoba, pembunuhan berantai, dan lain-lain. Karena bukan hukuman mati yang ditakuti para pelaku kejahatan  melainkan rasa takut untuk kelaparan atau kekurangan ekonomi, kehilangan seseorang, melindungi diri sendiri, maupun alasan-alasan lain yang dipikirkan seorang pelaku kejahatan pada saat itu untuk menyelamatkan dirinya sendiri daripada memikirkan akibat atau konsekuensi yang akan dihadapi pelaku tersebut. Sehingga kejahatan akan selalu ada di negara Indonesia ini selama rakyatnya belum sejahtera, aman, dan tentram. Mengingat motif utama seseorang membunuh, atau merampok, ataupun menjual narkoba sampai pada korupsi sekalipun adalah EKONOMI. Jadi harus berapa banyak narapidana lagi yang harus di “bunuh” dengan alasan merugikan orang banyak, dibanding dengan kelalaian negara untuk melindungi dan meningkatkan taraf hidup seluruh warga negaranya? Sedangkan negara memiliki kewajiban penuh untuk melindungi dan mempertahankan hak hidup warga negaranya. Sungguh ironis memang, dengan keadaan seperti ini, saya berpendapat bahwa justru negara yang dalam hal ini pemerintah, adalah pelanggar HAM terberat, karena selain gagal menyejahterakan rakyatnya, juga dengan sengaja mengambil hak hidup seseorang. Pemerintah memang pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan, tetapi bukan berarti tanpa mempertimbangkan setiap detail aspek yang terdapat didalamnya.
Hmm, pasti akan ada yang berpendapat bahwa seorang koruptor lah yang paling pantas mendapatkan hukuman mati. Alasan yang paling masuk akal ialah karena seorang koruptor sudah merampas uang rakyat banyak demi keuntungan dan kekayaan pribadi. Memang itu menjadi alasan yang tepat untuk ia mendapatkan hukuman yang sangat berat, tetapi menurut saya hukuman yang paling pantas adalah hukuman seumur hidup (pertimbangan usia seorang koruptor biasanya mulai dari 40 tahun-an), dan ditambah lagi dengan menyita aset dan kekayaan pribadinya yang disesuaikan dengan jumlah dana yang dikorupsi. Jika masih kurang, akan menjadi urusan keluarganya mencari sisa dana tambahan untuk menutupi kekurangan kepada negara. Si koruptor menghabiskan sisa hidupnya dipenjara hingga menghadapi kematiannya sendiri, bahkan keluarganya pun turut repot untuk mencari uang pengganti. Rasa malu seumur hidup, kekayaan habis, itu akan menjadi hukuman yang paling berat selama hidupnya. Dan yang pasti ia tak akan bisa memfasilitasi dirinya sendiri dengan peralatan mewah di penjara. Apa yang harus si koruptor lakukan ? Hanya banyak sembayang dan berdoa supaya dosa-dosanya diampuni sebelum umurnya habis. Itu saja. Dan jika jenis sanksi berat seperti ini sudah diterapkan kepada SATU ORANG KORUPTOR SAJA sebagai contoh, kemungkinan besar orang-orang yang bergelar koruptor ‘tersembunyi’ lainnya bisa memikirkan lagi perilaku mereka.
Kembali pada perdebatan tentang hukuman mati tadi, saya sangat tidak setuju dengan statement Henry Yosodiningrat dalam acara Debat yang ditayangkan di salah satu stasiun tv swasta pada tanggal 23 juli 2008. Bung Henry mengatakan bahwa eksekusi dengan tembak mati adalah cara yang “santun” dalam melaksanakan hukuman tersebut. Dengan alasan bahwa tembak langsung kearah jantung atau kepala daripada digantung, adalah cara yang “santun” karena orang yang dieksekusi tidak merasakan penderitaan atau sakit yang berkepanjangan. Saya kira ini adalah statement yang sangat tidak pantas di ucapkan, karena dengan metode apapun yang digunakan, alasan apapun cara hukuman mati tetap tidak bisa dibenarkan meskipun dengan pertimbangan implementasi undang-undang negara sekalipun. Toh sebuah Undang-undang dibuat oleh manusia, direvisi serta dapat juga dibatalkan oleh manusia, dan setiap manusiapun tak ada yang sempurna.
Para praktisi hukum pidana dan para praktisi HAM tentu memiliki pendapat yang sangat kontradiktif mengenai perdebatan ini. Dengan alasan bahwa pelaku kejahatan yang membunuh korban melakukan pelanggaran HAM, sehingga harus membayar dengan cara yang sama, terlihat ada semangat balas dendam disitu. Dilain pihak juga dapat timbul tanggapan bahwa pemerintah memberikan serangan balik kepada para pelaku kejahatan dengan memberikan hukuman mati. Sehingga tidak akan pernah efektif karena motif atau alasan para pelaku untuk membunuh berbeda-beda. Hukuman mati bertentangan dengan konstitusi yaitu hak untuk hidup adalah hak yang tidak boleh dikurangi oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Dan negara sebagai subjek yang memiliki otoritas tertinggi dalam melaksanakan Undang-undang seharusnya benar-benar memahami itu. Artinya pemerintah harus mengkaji kembali mengenai Undang-undang yang sangat jelas saling bertentangan satu sama lain. 
Pada akhirnya, setiap negara mempunyai alasan dan pertimbangan sendiri untuk tetap mempertahankan ataupun menghapus hukuman mati. Bagaimanapun juga negara yang menerapkan hukuman mati selalu menilai bahwa itulah hukuman setimpal dan hukuman yang paling berat bagi seorang pelaku kejahatan. Dan negara yang masih memiliki sensitifitas terhadap nilai-nilai luhur Hak Asasi Manusia pasti akan menerapkan hukuman seumur hidup sebagai gantinya. Dan saya sangat mendukung jika negara kita menghapus saja metode hukuman mati, dan mulai meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil (ICCPR) dan Second Optional Protocol of ICCPR, tentang penghapusan hukuman mati. Negara Indonesia melalui wakil-wakilnya di panggung internasional aktif menyuarakan peningkatan harkat dan martabat manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia, namun realisasi didalam negeri tidak menunjukkan hal itu. Bagaimanapun juga metode hukuman mati adalah metode hukum “primitif”, pemerintah harus membuka mata dan pikirkan mengenai penghapusan hukuman mati sekarang juga.     

Selasa, 02 Maret 2010

Cinta Vs. Persahabatan

 September, 2007

Cinta dan persahabatan,
Takkan pernah bisa berjalan beriringan.
Dimana dua insan mencoba untuk menepis rasa,
Demi sebuah persahabatan ...

Rasa takut kehilangan satu sama lain,
Yang disebabkan oleh cinta.
Dan persahabatan pun dipilih,
Demi keabadian ...

Sampai kapan ini bertahan ?
Mungkin sampai cinta bisa memberi jaminan,
Bahwa ia takkan pernah menyakiti,
Ia takkan pernah mengecewakan,
Ia takkan pernah memberi luka,
Dan ia takkan pernah meminta tangis.

Dan jika saat itu tiba,
Aku akan berani mengatakan,
"Sahabatku ... Aku mencintaimu".