Kamis, 14 Juli 2011

NASIB IRONIS PARA PEKERJA WANITA KITA ….

Inilah persoalan lain yang dihadapi para perempuan Indonesia kita. Disebut sebagai pahlawan devisa yang tentu saja memberikan keuntungan kepada negara, tetapi sangat lemah posisinya jika dipandang dari aspek perlindungan hukum. Berita terakhir yang kita dengar adalah hukuman penggal kepala yang diberikan kepada Ruyati oleh pemerintah Saudi Arabia. Dan berita yang baru saja saya baca pun lagi-lagi mengenai nasib para perempuan Indonesia kita yang bekerja sebagai TKI di Saudi Arabia yang menjadi korban kekerasan seksual oleh para majikannya. Sedikitnya 25 orang wanita asal Cianjur, Jawa Barat yang dipulangkan oleh pemerintah Saudi Arabia sedang dalam kondisi hamil dan pulang ke Indonesia dengan membawa anak. Memilukan sekali. Para perempuan Indonesia yang tak mendapat perlindungan sebagai “wanita” oleh si “lelaki”, dan biasanya mereka juga tak mendapat gaji atau bayaran yang semestinya, mereka juga harus pulang ke tanah air dengan membawa rasa malu bagi diri mereka, bahkan seringkali para tenaga kerja kita tak mendapat pelayanan hukum yang wajar atas kejadian yang mereka alami.
Beberapa TKW yang berhasil kabur dari rumah majikannya pun terpaksa tinggal di bawah kolong jembatan dan harus hidup kurang layak di negeri orang. Bahkan untuk bisa bertahan hidup pun para perempuan Indonesia kita terpaksa bekerja serabutan sebagai wanita penghibur di klub-klub malam dan panti pijat disana. Semakin menjatuhkan mereka ke dalam kehidupan ironis yang menyedihkan dimana pukulan bertubi-tubi diberikan kepada mereka. Sudah diperkosa oleh majikan, mengandung anak hasil kekerasan seksual tersebut, harus tinggal ditempat yg tidak layak, sampai harus kembali menjual tubuh mereka demi menyambung hidup di negeri orang sebelum akhirnya mereka di deportasi ke Indonesia.
Wacana untuk membatalkan pengiriman tenaga kerja wanita keluar negeri sebaiknya segera di realisasikan saja. Tetapi harus seimbang dengan kebutuhan mereka untuk lapangan pekerjaan di dalam negeri. Hal itulah yang selalu menjadi pekerjaan rumah pemerintah kita dan sekaligus juga menjadi pekerjaan rumah terberat setiap tahun, yaitu menyediakan lapangan pekerjaan yang merata bagi masyarakat Indonesia.
Sudah diketahui bahwa alasan dikirimnya tenaga kerja keluar negeri salah satunya adalah kurangnya kesempatan kerja di dalam negeri. Tetapi jikalau pun pengiriman itu tetap harus dilakukan, bukankah sebaiknya hanya tenaga kerja lelaki saja yang dipekerjakan ? well, meskipun tidak mudah juga sih, karena rata-rata bidang pekerjaan yang ditawarkan diluar negeri adalah pembantu rumah tangga dan pengasuh bayi. Sedangkan para lelaki cukup jarang bekerja dibidang itu, meskipun tenaga lelaki sebagai pembantu rumah tangga sebenarnya dibutuhkan juga. Tetapi bukan berarti tak tersedia bidang pekerjaan lain. Tenaga kerja sebagai tukang bangunan, pegawai toko, maupun pekerjaan-pekerjaan yang tidak membutuhkan ijazah tinggi pun saya pikir masih ada (saya tak mau bilang masih banyak) peluangnya di luar negeri. Well, pekerjaan seperti itu banyak terdapat di dalam negeri sendiri, tetapi yang menjadi pertimbangan warga Indonesia mau bekerja diluar negeri adalah karena gaji yang besar dihitung dari nilai mata uang rupiah yang masih lebih kecil dari mata uang negara lain.
Pada akhirnya, persoalan para perempuan Indonesia kita memang sedang di upayakan untuk diselesaikan oleh pemerintah kita. Dan diharapkan hasilnya adalah adil bagi para tenaga kerja kita khususnya tenaga kerja wanita. Itulah tanggung jawab moral negara bagi perlindungan dan keselamatan serta kesejahteraan warga-warganya. Kita tunggu saja.

Sabtu, 02 Juli 2011

Your Religion Is Not Important


by Bernie Schreck
Yesterday friend of mine sent me an email with a brief dialogue between the Brazilian theologist Leonardo Boff and the Dalai Lama, which deeply touched me. Here is what Leonardo, one of the renovators of the Theology of Freedom, recounts of this remarkable encounter :
In a round table discussion about religion and freedom in which Dalai Lama and myself were participating at recess I maliciously, and also with interest, asked him:  “Your holiness, what is the best religion?”
I thought he would say: “The Tibetan Buddhism” or “The oriental religions, much older than Christianity.”
The Dalai Lama paused, smiled and looked me in the eyes …. which surprised me because I knew of the malice contained in my question.
He answered: “The best religion is the one that gets you closest to God. It is the one that makes you a better person.
To get out of my embarrassment with such a wise answer, I asked: “What is it that makes me better?”
He responded: “Whatever makes you more compassionate, more sensible, more detached, more loving, more humanitarian, more responsible, more ethical.”
“The religion that will do that for you is the best religion”
I was silent for a moment, marveling and even today thinking of his wise and irrefutable response :
“I am not interested, my friend, about your religion or if you are religious or not”.
“What really is important to me is your behavior in front of your peers, family, work, community, and in front of the world”.
“Remember, the universe is the echo of our actions and our  thoughts.”
“The law of action and reaction is not exclusively for physics.  It is also of human relations. If I act with goodness, I will receive goodness. If I act with evil, I will get evil.”
“What our grandparents told us is the pure truth. You will always have what you desire for others. Being happy is not a matter of destiny. It is a matter of options.”
Finally he said:
Take care of your Thoughts because they become Words.
Take care of your Words because they will become Actions.
Take care of your Actions because they will become Habits.
Take care of your Habits because they will form your Character.
Take care of your Character because it will form your Destiny,
and your Destiny will be your Life”.
… and …
“There is no religion higher than the Truth.”