Selasa, 12 Januari 2010

-KNOWING- Kiamat itu ulahku

Sangat puas setelah menikmati film yang smart dan berkualitas. Dan itu adalah pendapat saya setelah nonton film ini. Bagi para penikmat film, hal ini pasti akan menimbulkan persepsi sendiri mengenai hakekat kiamat itu sendiri, baik dari segi science, religion, maupun prophecy. Semua orang percaya atau setidaknya semua manusia telah di doktrin untuk meyakini bahwa kiamat itu adalah akhir dari kehidupan di dunia. Kiamat itu adalah hari pengadilan akhir yang ditentukan oleh Tuhan yang menciptakan manusia itu. Tuhan semesta alam. Tuhan pencipta segala kehidupan di muka bumi. Tuhan yang diyakini sebagai Raja di atas Raja. Dan Tuhan yang akan selalu kekal meskipun hari kiamat itu tiba. Tapi satu hal yang paling penting adalah semua manusia diwajibkan percaya bahwa kiamat itu ada dan akan tiba waktunya, sesuai dengan keinginan Tuhan, dan tak ada satu manusia pun yang tahu. Hanya Tuhan.

Disinilah persoalannya. Setiap manusia di doktrin untuk percaya bahwa kiamat itu terjadi karena semakin banyaknya angka “dosa” yang dilakukan setiap manusia yang hidup di dunia, menurut perhitungan Tuhan. Kiamat itu adalah batas akhir kemurkaan Tuhan terhadap manusia. Dan hanya dengan satu kali perintah, Tuhan menghancurkan bumi, meletuskan semua gunung yang ada di permukaan bumi, meretakkan tanah-tanah dan menyedot setiap manusia masuk kedalam perut bumi, serta mengirimkan matahari sehingga berjarak hanya satu jengkal diatas kepala setiap manusia. Gambaran yang sangat mengerikan bukan ? setidaknya itulah hal yang dapat kita pelajari dari orang tua maupun buku-buku.

Tapi bagi para ilmuwan pemikir atau para scientist, tidaklah demikian. Terlepas dari pilihan keyakinan mereka, setidaknya ada penjelasan ilmiah ataupun penjelasan logis mengenai hakekat kiamat itu sendiri. Well, setiap manusia diberi berkah untuk dapat berpikir tentang hidup dan kelangsungan alam bukan ? Tuhan menciptakan bumi dan seluruh isinya secara “mentah”, dan manusialah yang meneruskan, menjaga, serta mengembangkannya. Hal inilah yang menarik untuk saya bahas disini.

Bumi kita telah terbentuk dari beratus-ratus jutaan tahun yang lalu. Para ilmuwan mengatakan bahwa bumi ini berasal dari partikel-partikel kecil yang terakumulasi sehingga terbentuklah seperti yang kita tempati di masa kini. Bukan bidang saya untuk meneliti tentang itu, tapi saya bisa mempelajari dan sedikit memahami tentang asal muasal terbentuknya bumi kita tercinta. Dan tulisan ini bukan untuk membahas mengenai komposisi maupun sejarah keilmuan terciptanya bumi, tapi saya hanya ingin memberikan pendapat saya mengenai bagaimana kiamat itu dapat terjadi dari sisi pemikiran saya yang sekiranya dapat dipahami secara logis menurut batas pemikiran manusia.

Hummm, beberapa tahun terakhir ini kita sangat dekat dengan istilah Global Warming ataupun Climate Change. Saya tak perlu memberikan perincian detail tentang definisi maupun faktor-faktor penyebab terjadinya kedua fenomena alam tersebut, karena pembahasan itu akan semakin memperpanjang tulisan ini (membosankan – red.). Lagipula saya yakin teman-teman pembaca sudah memahami tentang itu. Sebagian orang mengatakan bahwa musibah ataupun bencana alam yang sudah terjadi merupakan tanda-tanda bahwa kiamat itu sudah dekat. Bahwa Tuhan sudah semakin marah dengan manusia sehingga memberikan peringatan-peringatan semacam itu. Tetapi teman saya seorang Pastur mengatakan pendapatnya bahwa ketika seseorang meninggal dunia, itulah yang dinamakan kiamat. Menarik untuk saya sekaligus juga menyetujui pendapatnya. Saya setuju karena kiamat adalah saat berakhirnya kehidupan yang ada di dunia. Ketika seorang manusia meninggal, kehidupannya di dunia pun berhenti. Dan bagi saya, hal itu benar. Tetapi itu dari segi spiritualitas diri.

Kembali kepada kiamat dalam pengertian science. Tiba-tiba saya berpikir bahwa kiamat itu adalah ulah sang manusia sendiri. Begitulah kira-kira. Banjir besar yang melanda sebagian besar penjuru dunia, tanah longsor terjadi dimana-mana, sampai pada lapisan ozon yang rusak akibat ulah dari pelaku industri besar yang notabene manusia juga yang menjalankan. Sangat ironis karena ketika kita berpikir kenapa semua itu dilakukan tak lain karena alasan ekonomi. Well, semua orang butuh level ekonomi yang cukup bagi hidupnya. Bahkan setiap orang saling ketergantungan dalam menjalani siklus itu. Lalu siapa yang harus disalahkan ? Manusia memang. Tetapi apakah semuanya akan berjalan baik-baik saja jika kita melakukan sedikit “perbaikan” ? Mungkin iya. Tapi mungkin saja tidak. Karena bumi ini sudah rapuh. Bumi ini sudah terkontaminasi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu dan ia terendap dalam kesakitan yang telah sampai pada tahap hampir kritis.

Kasihan bumi kita. Ia butuh inpus lebih banyak. Ia butuh dokter yang senantiasa merawat ketika penyakitnya kambuh. Tetapi kesehatan itu mahal harganya. Jika kita tak ingin sakit, maka jangan sakit ! Dan itupun berlaku bagi bumi kita. Jika tak ingin bumi kita rapuh dan rusak, maka jagalah ia ! Karena kesehatan bumi kita sangat mahal harganya. Kerusakan infrastruktur karena banjir, tanah longsor, gempa, sangat merugikan bukan ? Kehilangan nyawa manusia pun tak bisa digantikan dengan budget berapapun nominalnya. Konferensi Iklim yang dilakukan secara besar-besaran dan berkali-kali dilaksanakan, pun telah mengeluarkan dana yang sangat besar.

Sangat mahal. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mendapatkan kembali kesehatan bumi kita sangat mahal. Dan ketakutan setiap manusia akan datangnya bencana yang lebih besar semakin terasa. Syndrome 2012 tak mempengaruhi saya. Tetapi pada akhirnya kematian akan datang kepada kita semua. Dengan cara apapun yang ia mau. Dan saat ini saya lebih mempercayai bahwa kiamat itu adalah kematian diri saya. Kematian tubuh saya. Tetapi kalaupun benar kiamat itu diartikan dengan hancurnya bumi, maka itu karena ulah manusia sendiri. Ulah kita sendiri.

Tololnya Diriku

Aku lelah. Aku muak. Inilah batas tertinggi kesabaranku atas ketololan diri sendiri. Atau ke-tidak beruntung-an hidup. Atau apalah itu namanya. Aku merasa …. Tak punya arti apapun dalam menjalani hidupku sendiri. Terlalu polos, terlalu nrimo, terlalu “lurus”, terlalu idealis, terlalu lemah dan terkesan tak berdaya ketika persoalan datang, terlalu “miskin” perubahan, terlalu …., terlalu …., dan terlalu lainnya.

Aku membenci diriku sendiri. Atas kesombongan-kesombongan yang menjebak diri dan pikiranku sendiri. Aku lebih memilih untuk menjadi orang yang beruntung daripada terjebak dengan gelar “orang pintar” ini. Tetapi sayangnya aku bukan orang yang beruntung. Atau mungkin saja di masa sekarang ini, keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku. Hmmmm.

Terlalu berharap akan pertolongan Tuhan. Itu ketololan lain atas sikap “terlalu” ini. Aku belajar mendekatkan diri dan lebih memahami akan Tuhan dengan harapan bahwa Ia akan (dengan) segera mengabulkan permohonan-permohonanku. Tapi aku salah besar kali ini. Tiba-tiba tersadar bahwa dengan belajar mengenal Tuhan, aku harus “fokus” pada proses pembelajaran ini, bukan pada hal-hal yang bersifat duniawi dulu. Maksudnya, jika merasa “baru” mengenal Tuhan jangan serta merta bersikap “tak tahu diri” merepotkan Tuhan atas permintaan-permintaan duniawi. Tuhan pun akan tertawa karena ketololan ini. Dan mungkin Tuhan akan berkata, “tak ada yang gratis didunia ini, bodoh!. Kau harus mengenal dan mencintaiKu lebih dalam lagi sebelum aku mempertimbangkan untuk menjadikanmu salah satu manusia yang LAYAK dikabulkan setiap doa-doamu. Perbanyak dulu ibadah kepadaKu dan tingkatkan dulu keimananmu, sebelum kau datang lagi kepadaKu dengan permintaan-permintaanmu itu!”. Hmmm. Kurang lebih seperti itulah. Tapi …. Mungkin juga Tuhan tidak akan berkata seperti itu, karena Tuhan Maha Pengasih dan terlalu mencintai umat-umatNya sehingga Ia selalu luluh jika ada (seorang) umatNya yang sedang kesusahan. Mungkinkah seperti itu? ha ha ha … lucu sekali. Aku hampir menjadi seperti orang gila jika terus bersikeras memikirkan tentang apa yang Tuhan pikirkan mengenai diriku. Ketololan yang lain.

Lalu apa yang salah dengan diriku? Entahlah. Aku belum menemukan jawabannya. Apakah aku memang sudah ditakdirkan “sial” seperti ini? Atau aku harus merubah hidupku? Hanya dengan merubah hidup? Apakah itu bisa jadi patokan? Aku tak akan pernah tahu jika tak mencobanya dulu. Jadi …. Aku harus merubah diri secara keseluruhan!!!

Senin, 11 Januari 2010

Persepsi Perempuan Tentang Vagina-nya

Eve Ensler, penulis drama, puisi, dan film menulis buku The Vagina Monologues (1998). Buku ini sangat menarik karena memuat wawancara lebih dari 200 perempuan tentang persepsi vaginanya. Riset tentang vagina sempat ia pentaskan di Broadway, New York, dan mendapatkan hadiah Obie Award pada tahun 1997. bagian-bagian yang menarik dari buku Ensler adalah wawancara yang meminta perempuan untuk menyebutkan bagaimana tanggapan dan pengalaman mereka tentang vagina mereka.

Beberapa orang perempuan yang diwawancara menghubungkan vagina mereka dengan pengalaman menstruasi, dan kemudian menghubungkan pengalaman tersebut dengan beranjaknya seorang gadis kecil menjadi seorang gadis ranum. Salah seorang sumber mengatakan bahwa ketika ia berusia 12 tahun dan mendapatkan dirinya “berdarah” karena menstruasi, ia menjadi sangat malu dan tiba-tiba merasa bahwa lingkungannya berubah. Ia menyadari bahwa ada hal-hal bagi orang yang “berdarah” yang boleh dilakukan, dan ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Perasaan malu, tidak enak, dan “kotor” bercampur aduk.

Ada lagi seorang perempuan yang membandingkan betapa reaksi setiap keluarga berbeda-beda dalam menanggapi “vagina berdarah”. Misalnya, ada keluarga yang pura-pura tidak mau tahu karena menganggap tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka, dan diharapkan si anak gadis sudah tahu apa yang harus dilakukan. Namun, ada pula keluarga yang merayakan “hari berdarah” ini dengan makan malam yang meriah.

Kesadaran akan pentingnya vagina juga ditanggapi secara berbeda-beda. Kebanyakan dari perempuan usia muda menyadari betapa pentingnya vagina mereka dari peristiwa “hari berdarah” ini. Ada seorang perempuan kulit hitam yang mengatakan bahwa ibunya sangat ketat dalam hal pemakaian pembalut untuk menstruasi. Ibunya tidak membolehkannya memakai tampon, tetapi harus memakai semacam handuk agar “sugar dish” (vagina) terlindungi dan nyaman. Pernah ia mencoba memakai tampon dan ketika ibunya mengetahui hal tersebut, ia kena damprat dan tamparan cukup keras. Sejak itu, ia menyadari betapa ia tidak boleh main-main dengan “aturan vagina” yang diberlakukan dirumahnya. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan lainnya yang “melanggar aturan” yang ditetapkan bagi vaginanya dikatakan sebagai “perempuan tidak baik”, “murahan”, dan sebagainya.

Khusus di Indonesia sendiri, saya pikir tak ada aturan yang sangat ketat dalam menanggapi perlakuan terhadap anak gadis yang baru mendapatkan menstruasi pertama. Tetapi sebagian besar para orangtua khususnya ibu akan segera mengajak putrinya berbicara empat mata dan dari hati ke hati mengenai bagaimana seorang perempuan yang sudah sadar “menstruasi” untuk lebih menjaga diri dan tubuhnya. Karena pada bagian ini para ibu akan lebih memberikan peraturan ketat dalam soal mengenal lawan jenis. Tak heran jika masih ada seorang gadis yang menganggap bahwa dengan berciuman saja bisa mengakibatkan kehamilan. Well, tak bisa menyalahkan pihak orangtua karena itu adalah bagian dari perlindungan terhadap putrinya. Tetapi akan lebih baik jika diberikan nasehat yang lebih masuk akal dan penjelasan yang “dewasa”, terutama nilai-nilai agama disertai dengan pendekatan yang lebih bersahabat. Namun satu hal yang penting menurut saya adalah adanya pola pikir yang terbuka bahwa membicarakan segala hal yang berhubungan dengan “vagina” bukanlah hal yang tabu.

Pengalaman saya pribadi. Sejak pertama kali mendapatkan diri saya “berdarah”, ibu menganjurkan saya untuk memakai handuk dan tidak memakai pembalut yang sering dijual di pasaran. Saya tak tahu pasti alasan ibu pada waktu itu, tetapi saya menurutinya saja. Dan sekarang saya mengerti bahwa sebagian pembalut kewanitaan yang ada dipasaran dibuat dari kertas yang di daur ulang sehingga beresiko terhadap penyakit kanker mulut rahim. Ironisnya sebagian besar wanita tidak menyadari kemungkinan resiko itu.

Menarik jika saya mendengarkan pengalaman teman-teman wanita mengenai menstruasi pertama mereka. Banyak hal yang lucu disana. Karena ternyata beberapa teman wanita justru memakai pembalut secara terbalik (bagian perekat menempel di vagina). Dan konyol sekali ketika membayangkan bagaimana sakitnya ketika pembalut itu dilepaskan lagi. Ha ha.

Pengorbanan Itu Bukan Cinta

(…Tak pantas cinta ini mendapat tempat yang layak di sisi hati yang paling berharga, karena cinta ini tak butuh pengorbanan…karena pengorbanan itu bukan cinta…)

Pernahkah kamu merasa fisik kamu lemah tak berdaya karena merasa sakit pada hati kamu ? perut mual, dada sesak, sekujur badan terasa sakit padahal itu bukan penyakit layaknya sakit pada umumnya. Well, setiap orang mungkin pernah mengalami hal itu. Sakit fisik karena sakit hati. Huhh ! menyebalkan bukan? Ini adalah sakit yang tak ada obatnya, kecuali pengobatan hati itu sendiri. Hati yang memulai maka hati pula yang mengakhiri. Seperti lagu lawas “…kau yang mulai, kau yang akhiri. Kau yang berjanji, kau yang mengingkari…sakit hati…”. Tapi, apapun itu, setiap hal pasti ada resiko dan tanggung jawabnya. Ada upaya dan ada hasilnya. Ada awal pasti ada akhir.

Sebenarnya sudah sangat klise kalau bicara soal cinta dan pengorbanan. Karena siapapun itu dan apapun bentuk permasalahannya, pasti menemukan satu kesimpulan bahwa cinta itu memang butuh pengorbanan. Tapi pengorbanan seperti apa ? Pengorbanan yang pantas kah ? atau pengorbanan yang sebenarnya berujung pada suatu hal yang tidak layak untuk mendapat penghargaan itu ? pada akhirnya, esensi sebenarnya adalah pengorbanan bukan untuk sebuah cinta, tapi pengorbanan hanya pantas untuk diri sendiri, bagaimana menjaga keseluruhan diri ini menjadi lebih berharga dari sebelumnya. Hmmm…Aku lebih setuju pada kalimat ini.

Mungkin pemikiranku terlalu sinis tentang itu. Tapi memang seperti itu adanya. Mau bagaimana lagi? Toh upaya untuk memperbaiki diri jauh lebih “penting” daripada hanya memikirkan bagaimana menjaga sesuatu yang bernama “cinta” itu, yang termanifestasikan dengan airmata, teriakan-teriakan amarah, hujatan-hujatan kasar yang dengan sengaja dilontarkan, dan kalimat pembelaan “…but I love you…”.

Melelahkan bukan ? sebagian orang mungkin setuju dengan itu. Sebagian lagi mungkin tidak.

Nothing’s hurt so bad. Nothing’s hurt like love. Which is give u so much pain and trouble in ur whole life. But unfortunately, it also gave u the happiness like an extacy brings u flies to far far away of places. And at the same time, it makes u fell down to the earth and broke u so badly.

U can take it or leave it. So decide it !

Cinta Yang Kontra Dalam Islam

Islam mengajarkan umatnya untuk saling mencintai sesama manusia. Terutama cinta kasih atas nama moral dan kemanusiaan. Makhluk Tuhan dalam posisi yang kaya maupun yang miskin, seluruh bangsa-bangsa di dunia, suku dan umat beragama lainnya, hewan dan tumbuhan, semuanya terangkum menjadi satu kesatuan yang wajib mendapatkan cinta kasih yang ‘setara’ atas nama makhluk ciptaan Tuhan. Dalam setiap firman-Nya tercantum dengan sangat jelas di dalam kitab suci Al-Quran. Tetapi ketika aku mencoba mempertanyakan bagaimana sesungguhnya esensi cinta kasih seorang umat Islam terhadap penganut agama lain ? ajaran Islam tak mengajarkan itu. Ajaran Islam melarang pertautan cinta kasih antara seorang Muslim dengan penganut agama lain. Mengapa Tuhan ? Engkau yang menanamkan sebuah hati dalam raga setiap manusia-Mu. Engkau yang mewajibkan cinta kasih bersemi dalam hati setiap manusia-Mu. Tetapi mengapa karena perbedaan keyakinan tentang-Mu, cinta kasih itu harus dibatasi ? mengapa karena tidak adanya kepahaman yang sama mengenai-Mu, menjadikan cinta kasih itu harus dihilangkan, atas nama larangan-Mu ?

Engkau yang Maha Kuasa di atas segala-galanya. Engkau yang Maha Tunggal. Aku meyakini itu. Mereka, penganut agama lain pun meyakini itu. Mereka percaya satu Tuhan. Mereka percaya satu Allah. Namun mereka memilih jalan lain untuk bersimpuh kepada-Mu. Segala ajaran moral dan kasih sayang mereka jalani dengan berpedoman pada Tuhan. Segala kebaikan yang Tuhan wajibkan untuk diimplementasikan dalam segenap kehidupan duniawi, pun mereka jalani dengan berpegang pada-Mu. Aku, umat Muslim-Mu pun melaksanakan ajaran moralitas itu. Lalu apa yang membedakan aku, penganut-Mu, dengan kaum yang bukan penganut-Mu ? mereka hanya memilih ‘jalan’ dan ‘cara’ yang berbeda dari aku yang menyembah-Mu dengan ‘jalan’ dan ‘cara’ yang Engkau wajibkan kepadaku.

Aku bingung dengan konsep cinta dalam ajaran-Mu Tuhan. Aku memandang setiap manusia berdasarkan kualitas moral dan kebaikan yang ia punya. Tanpa memandang dari agama manapun ia berasal. Karena aku yakin setiap agama pasti mengajarkan segala kebaikan dalam hidup. Aku memahami setiap ajaran-Mu. Aku mempelajari batasan-batasan Mu mengenai cinta terhadap umat lain ini. Tapi tetap saja, aku tak memahami mengapa harus seperti itu.

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shalih, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. Al-Baqarah (2) : 62)

Para penganut paham pluralisme Islam meyakini bahwa Ayat ini menjelaskan bahwa yang paling utama bagi Tuhan adalah amal baik setiap manusia, sekalipun dia adalah orang Muslim, Yahudi, maupun Nasrani. Dan Tuhan menjanjikan pahala baginya. Setiap manusia baik ia memeluk agama Islam, Yahudi, maupun Nasrani, akan memiliki kedudukan yang sama di surga, selama ia mempertanggungjawabkan segala kewajiban moralnya di dunia. Singkat kata, semua agama itu sama karena semua agama itu benar.

Bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan…” (QS. Al-Baqarah (2) : 148)

Penganut pluralisme pun beranggapan bahwa Ayat ini merupakan pengakuan Al-Quran terhadap beberapa agama yang lahir dari wahyu Tuhan. Dan semua agama itu diakui adanya serta memiliki kiblatnya sendiri-sendiri. Namun yang terutama dan yang terpenting ialah bagaimana setiap pemeluk agama memperbanyak amal kebaikan didunia sebagai kompetisi mereka untuk memperoleh kebahagiaan kekal nantinya.

Well, aku tak ingin membahas satu persatu ayat-ayat yang aku ketahui, karena aku masih memiliki banyak kekurangan dalam hal pemahaman agama (Dan tentu saja, akan muncul banyak pendapat yang mengatakan bahwa aku memang salah pengertian dan tak tahu apa-apa soal itu). Tetapi inilah pemikiranku secara sederhana mengenai semua yg sudah aku bahas dari atas. Saat ini aku memang mencintai lelaki dari penganut agama lain (pertanyaan-pertanyaan diatas bukanlah upaya pembenaran akan hal ini), namun terlepas dari itu, jika aku membawa diriku pada posisi yang netral, pertanyaan-pertanyaan seperti itupun akan terlintas di benakku. Dan hal itu wajar.

Pada akhirnya hanya satu jawaban. Tuhan Maha Kuasa di atas segala-galanya. Manusia memang diberi otak dan akal untuk berpikir. Tetapi jawaban sejatinya hanya pada Tuhan. Dan tugasku selanjutnya hanyalah menyebarkan Hukum Cinta Kasih kepada semua makhluk yang ada di muka bumi. Begitulah.