Senin, 11 Januari 2010

Persepsi Perempuan Tentang Vagina-nya

Eve Ensler, penulis drama, puisi, dan film menulis buku The Vagina Monologues (1998). Buku ini sangat menarik karena memuat wawancara lebih dari 200 perempuan tentang persepsi vaginanya. Riset tentang vagina sempat ia pentaskan di Broadway, New York, dan mendapatkan hadiah Obie Award pada tahun 1997. bagian-bagian yang menarik dari buku Ensler adalah wawancara yang meminta perempuan untuk menyebutkan bagaimana tanggapan dan pengalaman mereka tentang vagina mereka.

Beberapa orang perempuan yang diwawancara menghubungkan vagina mereka dengan pengalaman menstruasi, dan kemudian menghubungkan pengalaman tersebut dengan beranjaknya seorang gadis kecil menjadi seorang gadis ranum. Salah seorang sumber mengatakan bahwa ketika ia berusia 12 tahun dan mendapatkan dirinya “berdarah” karena menstruasi, ia menjadi sangat malu dan tiba-tiba merasa bahwa lingkungannya berubah. Ia menyadari bahwa ada hal-hal bagi orang yang “berdarah” yang boleh dilakukan, dan ada hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Perasaan malu, tidak enak, dan “kotor” bercampur aduk.

Ada lagi seorang perempuan yang membandingkan betapa reaksi setiap keluarga berbeda-beda dalam menanggapi “vagina berdarah”. Misalnya, ada keluarga yang pura-pura tidak mau tahu karena menganggap tidak layak untuk dibicarakan secara terbuka, dan diharapkan si anak gadis sudah tahu apa yang harus dilakukan. Namun, ada pula keluarga yang merayakan “hari berdarah” ini dengan makan malam yang meriah.

Kesadaran akan pentingnya vagina juga ditanggapi secara berbeda-beda. Kebanyakan dari perempuan usia muda menyadari betapa pentingnya vagina mereka dari peristiwa “hari berdarah” ini. Ada seorang perempuan kulit hitam yang mengatakan bahwa ibunya sangat ketat dalam hal pemakaian pembalut untuk menstruasi. Ibunya tidak membolehkannya memakai tampon, tetapi harus memakai semacam handuk agar “sugar dish” (vagina) terlindungi dan nyaman. Pernah ia mencoba memakai tampon dan ketika ibunya mengetahui hal tersebut, ia kena damprat dan tamparan cukup keras. Sejak itu, ia menyadari betapa ia tidak boleh main-main dengan “aturan vagina” yang diberlakukan dirumahnya. Oleh sebab itu, perempuan-perempuan lainnya yang “melanggar aturan” yang ditetapkan bagi vaginanya dikatakan sebagai “perempuan tidak baik”, “murahan”, dan sebagainya.

Khusus di Indonesia sendiri, saya pikir tak ada aturan yang sangat ketat dalam menanggapi perlakuan terhadap anak gadis yang baru mendapatkan menstruasi pertama. Tetapi sebagian besar para orangtua khususnya ibu akan segera mengajak putrinya berbicara empat mata dan dari hati ke hati mengenai bagaimana seorang perempuan yang sudah sadar “menstruasi” untuk lebih menjaga diri dan tubuhnya. Karena pada bagian ini para ibu akan lebih memberikan peraturan ketat dalam soal mengenal lawan jenis. Tak heran jika masih ada seorang gadis yang menganggap bahwa dengan berciuman saja bisa mengakibatkan kehamilan. Well, tak bisa menyalahkan pihak orangtua karena itu adalah bagian dari perlindungan terhadap putrinya. Tetapi akan lebih baik jika diberikan nasehat yang lebih masuk akal dan penjelasan yang “dewasa”, terutama nilai-nilai agama disertai dengan pendekatan yang lebih bersahabat. Namun satu hal yang penting menurut saya adalah adanya pola pikir yang terbuka bahwa membicarakan segala hal yang berhubungan dengan “vagina” bukanlah hal yang tabu.

Pengalaman saya pribadi. Sejak pertama kali mendapatkan diri saya “berdarah”, ibu menganjurkan saya untuk memakai handuk dan tidak memakai pembalut yang sering dijual di pasaran. Saya tak tahu pasti alasan ibu pada waktu itu, tetapi saya menurutinya saja. Dan sekarang saya mengerti bahwa sebagian pembalut kewanitaan yang ada dipasaran dibuat dari kertas yang di daur ulang sehingga beresiko terhadap penyakit kanker mulut rahim. Ironisnya sebagian besar wanita tidak menyadari kemungkinan resiko itu.

Menarik jika saya mendengarkan pengalaman teman-teman wanita mengenai menstruasi pertama mereka. Banyak hal yang lucu disana. Karena ternyata beberapa teman wanita justru memakai pembalut secara terbalik (bagian perekat menempel di vagina). Dan konyol sekali ketika membayangkan bagaimana sakitnya ketika pembalut itu dilepaskan lagi. Ha ha.

1 komentar:

okke mengatakan...

tentang pembalut terbalik...
saya juga ngalamin :))

Posting Komentar