Senin, 11 Januari 2010

Pecun itu…. Sahabatku

Ngapain sih lo narik2 gw ! lo kira gw barang apa?!”

Lo….Pecun kan?”

Kalimat dalam adegan film “Extra Large” tersebut, cukup membuat saya terdiam. Kata-kata ‘pecun’ dengan sangat mudah dan tanpa berdosa keluar dari mulut salah satu aktor film itu. Ya, meskipun itu hanya adegan film dalam arti hanya acting saja, tapi kalimat itu cukup membuat saya berpikir flashback ke beberapa tahun yang lalu, dimana saya secara langsung dan tanpa sadar ‘bersentuhan’ dengan dunia itu.

Wait! Jangan salah pengertian dulu. Saya hanya ingin menggambarkan sosok seorang ‘pecun’ yang dulu saya kenal, dimana sosok ini dulu telah saya proklamirkan sebagai sahabat. Sahabat yang baik. Sahabat yang sangat membantu. Sahabat yang sangat mengerti orang lain. Namun, sahabat yang tidak saya “kenal” sepenuhnya.

Sebut saja namanya Keke. Perkenalan kami sebenarnya berlangsung singkat. Kebetulan dia dulu adalah pacar teman saya. Fleksibilitas Keke dalam menjalin hubungan baru memudahkan saya untuk cepat akrab dengan dia. Well, kesan pertama dia adalah tipe orang yang mudah bergaul, mau ngobrol dengan siapa saja, dan sedikit royal soal pengeluaran duit.

Singkat cerita, kami menjadi sahabat yang dekat satu sama lain. Apalagi saya mengetahui tentang kehidupan keluarganya. Lahir dari orang tua yang bercerai menjadikan keke anak yang broken home. Hubungannya dengan saudara-saudara pun sangat tidak harmonis. Segala rasa sakit hati dan kekecewaan yang ia dapat dari keluarga terdekat membuat ia terjerat dalam kehidupan drugs. Untuk waktu yang cukup lama ia terbuai dengan “hidup baru” yang menjadikan dirinya lebih tegar dan sejenak melupakan segala problem yang membuat ia muak.

Hmmmm, my friend…I remembering you…and seems like I miss you. Hope you can “rest in peace” and God always bless you”.

Uang. Persoalannya adalah uang. Itu yang menjadikan sahabatku seperti ini. Itu pikirku. Uang telah membutakan mata dan hatinya. Uang telah membeli harga dirinya. Uang telah menjadikan dia perempuan simpanan. Uang telah menjadikan sahabatku…Pecun. Itu pikirku. Namun, uang juga telah menyelamatkan hidupnya. Uang telah mengangkat dirinya dari “no body” menjadi “somebody”. Uang telah menjadikan dirinya eksis dimata teman-teman yang lain. Mungkin bagi Keke, dengan “berduit” ia bisa bergaul dengan kami dan dengan siapa saja (Im sorry my dear friend, you absolutely wrong about that). Tapi disaat yang sama, uang juga yang telah membuat ia bertahan dalam kesendirian hidupnya, tanpa bantuan dari keluarga, tanpa sokongan dari orang tua. Uang telah membuat sahabatku bertahan dalam hidup. Itu pikirku.

“…handphone baru dong om..”

Kalimat pertama yang tidak sengaja saya dengar ketika Keke sedang sibuk dengan teleponnya. “what the hell is that !”. Kataku dalam hati. Namun kalimat itu cukup membuat saya menjadi seorang Detektif selama berhari-hari. And guess what ? sahabatku adalah seorang…….pecun.

Ow my God…!! What the hell is going on?!! Why she doing this?! My bestfriend!! It’s a DAMN big surprise to me!

Ingin rasanya saya mengeluarkan semua kemarahan yang saya pendam padanya. Setiap situasi manipulatif yang membuat saya percaya padanya. Setidaknya, saya hanya ingin mengatakan “Dear, you did a big mistakes !”. Tapi entah kenapa, saya tak pernah mengatakan itu. Bahkan meskipun saya beberapa kali berada disamping dia, bertemu dengan para “customer”nya, dimana dia merasa bahwa dia berhasil menipu saya tentang pertemuan-pertemuan itu. Dan meskipun setelah cukup lama saya mengetahui profesi yang dijalani Keke, saya tetap bungkam. God…Ini salah saya. Saya bukan sahabat yang baik. Dan pada akhirnya.. Keke menyadari, saya mengetahui rahasia itu. Tapi saya tetap menyayangi dia. Prihatin tepatnya.

Dia pergi..

Saya tidak menemukan satupun barang-barang di kamarnya. Dia pergi. Dan tiba-tiba saya merasa bisa membaca pikirannya. Dia malu. Dia juga tidak ingin membuat saya malu atas kehadiran dia. Atas persahabatan kami.

Dear, where are you going ? You have nobody here… I miss you already..

Entah kenapa, saya semakin menyadari banyak hal setelah perpisahan tanpa pamit itu. Dan hal-hal yang saya pikirkan adalah…semua kebaikan-kebaikan Keke. Well…terlepas dari profesi Keke, saya mencoba menanggalkan “topeng”nya dan mendapati dirinya sebagai sahabat yang baik. Sahabat yang penuh pengertian. Sahabat yang hangat. Sahabat yang cantik. Sahabat yang selalu melindungi saya. Dan satu hal yang paling penting adalah…Keke tak pernah sekalipun menjebak saya ke dalam dunianya. Drugs dan “profesinya”…Ia tak ingin saya seperti dirinya. Dia menjaga saya. Dia menyayangi saya.

Satu benang merah yang saya ambil dari pengalaman ini. Setiap perempuan yang memilih menjalani hidup seperti itu pasti memiliki alasan masing-masing. Dan tentunya ekonomi adalah alasan yang paling utama. Meskipun bagi sebagian orang ekonomi tidak bisa dijadikan alasan logis seorang perempuan menjual tubuhnya. Itu adalah harga diri. Harga mati. Tapi ke-tidakmasuk akal-an itu pun tak bisa dijadikan senjata untuk menghina mereka…para perempuan pecun. Toh mereka tetaplah manusia yang tidak sempurna, meskipun dengan profesi itu menjadikan mereka semakin “tak sempurna”. Dan mungkin cerita Keke hanyalah satu dari sekian banyak cerita yang dialami para perempuan pecun lainnya. Apapun itu…..saya memahami.


(For my bestfriend “N”…Banyak DOA untuk kamu. Semoga Allah mengampuni semua dosa-dosa kamu sayang…Semoga kamu selalu tenang disisi-Nya. Satu hal yang membuat saya menyesal…saya tidak mendampingi kamu disaat-saat terakhirmu. Bahkan hingga kini pun…saya tak pernah tahu mengapa kamu pergi meninggalkan dunia ini…)



0 komentar:

Posting Komentar